Senin, 09 April 2012

5 Profesi Yang Masih langka Di Indonesia

1.Pengusaha (Entrepreneur)
Jika dibandingkan dengan beberapa negara maju di dunia, jumlah entrepreneur atau wirausahawan di Indonesia masih rendah. Terbukti, dari 231,83 juta jiwa penduduk Indonesia, baru 4,6 juta saja yang berwirausaha. "Jumlah itu masih cukup rendah atau jika diprosentasekan baru 2 persen dari total jumlah penduduk," ujar Menteri Koperasi dan UKM Dr Syarief Hasan di Surabaya, Sabtu (13/2/2010).

Ia menuturkan, persentase penduduk Singapura yang berwirausaha mencapai 7 persen, China dan Jepang mencapai 10 persen. Sedangkan yang tertinggi adalah Amerika Serikat sebesar 11,5-12 persen. "Entrepreneurship kita masih rendah. Untuk itu, tahun ini Kementerian Negara Koperasi dan UKM akan mulai menggalakkan program pemberdayaan bagi pemuda, khususnya para sarjana yang belum bekerja untuk diberikan penyuluhan dan modal usaha," katanya.

Kegiatan tersebut, lanjut Syarief, telah dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Jawa Tengah, Bali, Jambi, DKI Jakarta, Sumatera Utara, dan kemarin telah digelar di Jawa Timur.

"Dari beberapa daerah yang telah dikunjungi dan diberikan pelatihan, sebanyak 25 persen dari 4.000 peserta sarjana atau sekitar 1.304 sarjana yang hadir, kini telah mengajukan proposal pengajuan dana usaha dan target dari tiap provinsi adalah melahirkan 1.000 wirausahawan baru," ujarnya.

Dengan begitu, tambah Syarief, hingga 2014 angka pengangguran di Indonesia pun diharapkan dapat berkurang dan jumlah wirausahawannya pun bisa meningkat.

2.Peneliti (Ilmuwan)
Jumlah peneliti baru dalam negeri masih kalah jauh dengan beberapa negara Asean. Dari 1 juta penduduk, Indonesia hanya menghasilkan 200 peneliti, jauh dengan malaysia yang mencapai 5000 peneliti dan Jepang 390 ribu peneliti.

"Jumlah tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya," jelas Syamsul Maarif, pada pembukaan seminar Nasional pemanfaatan inovasi IPTEK, di Hotel Borobudur, Jakarta, Minggu (11/3).

Ia mengkritik anggaran belanja untuk penelitian dan pengembangan (litbang) di dalam negeri masih sangat kurang, walaupun sudah dinaikkan 200 persen. Pada 2010 anggaran litbang hanya disediakan sebesar Rp 1,9 triliun.

Syamsul Maarif yang juga Ketua Umum Alumni Universitas Brawijaya Malang menegaskan dana tersebut masih terbilang rendah, karena kurang dari 1 persen atau hanya tepatnya 0,07 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB)."Ini jauh dibanding negara asia lainnya, seperti Singapura, menyediakan anggaran litbang sebesar 2,36 persen dari total PDB, dan Korea sebesar 4 persen,"

3.Penulis
Kepala Balai Bahasa Bandung, Abdul Khak menuturkan, tradisi menulis di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan tradisi membaca, terlebih di kalangan anak muda.
"Minat membaca saja sebenarnya masih rendah. Bayangkan, minat menulis justru berada di bawah minat membaca. Ini tentunya sangat mengkhawatirkan," kata Abdul Khak ketika dihubungi di Bandung, Rabu.
Abdul menerangkan, rendahnya tradisi menulis ini akibat rendahnya minat membaca."Kedua kegiatan ini saling mempengaruhi. Membaca itu referensi untuk menulis. Bagaimana bisa seseorang menulis jika tidak suka membaca," terangnya.
Saat ini, kata Abdul, banyak dosen-dosen di sejumlah perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri yang mengeluhkan kualitas tulisan mahasiswa. "Kualitas dan kemampuan menulis mahasiswa saat ini cenderung rendah. Ini juga membuktikan bahwa, minat membaca mahasiswa sekalipun rendah," lanjutnya.
Menurut Abdul, mustahil seseorang bisa menulis kalau yang bersangkutan tidak suka membaca karena kedua kegiatan saling beriringan.
Sejauh ini, lanjut Abdul, pihaknya memang belum mengantongi data pasti terkait rendanya minat membaca. Namun, kecenderungan tersebut sudah dapat diidentifikasi dari jumlah pengunjung perpustakaan perharinya dan frekuensi kunjungan.
"Perpustakaan menjadi indikator kecenderungan tersebut, selain toko buku tentunya. Karena tidak ada alasan bagi yang haus membaca, sekalipun tidak uang. Dia bisa datang ke perpustakaan misalnya," tutur Abdul.

4.Dokter Ahli Bedah Syaraf
Dokter bedah saraf yang tergabung dalam Ikatan Ahli Bedah Saraf Indonesia (Ikabasi) hingga saat ini masih sedikit, yakni kurang dari 150 orang, dan sebagian besar bermukim di Jakarta.

"Sebagian sisanya tersebar di sejumlah kota besar lainnya, seperti Surabaya, Bandung, Semarang, Denpasar, Medan, Lampung, Padang, Yogyakarta, Palembang, Manado, dan Pontianak," kata Prof Dr dr Sri Maliawan, SpBS pada pidato pengukuhan guru besar ahli bedah saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (Unud).

Di hadapan sidang senat terbuka yang dipimpin Rektor Unud Prof Dr dr I Made Bakta, profesor kelahiran Kabupaten Tabanan itu menjelaskan, meskipun sangat terbatas, anggotanya mempunyai peran yang sangat strategis di kancah internasional.

Ikabasi, atas prakarsa Prof Iskarno pada tahun 1980, telah membentuk ASEAN Neurological Surgery Association yang beranggotakan negara Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.

Wadah tersebut mengadakan pertemuan pertama di Bandung, berhasil menerbitkan buku bedah saraf dalam bahasa Indonesia, hingga akhirnya ilmu bidang bedah saraf Indonesia memasuki era baru.

Sri Maliawan menjelaskan, 147 dokter spesialis bedah saraf di Indonesia yang sebagian besar bermukim di Jakarta itu harus melayani 220 juta penduduk Indonesia. Rasio layanan sekitar satu dokter berbanding 1,5 juta orang sehingga sangat berat untuk memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan.

Lebih-lebih, 70 orang atau separuh dari 147 dokter ahli saraf itu bermukim di Jakarta untuk melayani penduduk sekitar 10 juta jiwa atau satu berbanding 110.000 orang.

Empat lembaga pendidikan bedah saraf di Indonesia, yakni Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Airlangga, dan Universitas Sumatera Utara, sedang mendidik 70 orang, delapan di antaranya dalam penyelesaian studi.

Dengan demikian, dalam tahun 2010 anggota Ikabasi hanya bertambah delapan spesialis bedah saraf. "Mereka tentu ingin bekerja di kota-kota yang sudah memiliki fasilitas pelayanan bedah saraf atau diagnostik yang memadai di kota-kota di Pulau Jawa," ujar Sri Maliawan.

Dengan demikian, tetap terjadi ketimpangan dari segi pelayanan dan pendidikan dalam bidang bedah saraf untuk Indonesia bagian timur. "Kami berharap, dengan berkembangnya pendidikan dan pelayanan bedah saraf di Bali, khususnya Fakultas Kedokteran/RSUP Sanglah Denpasar dapat mengurangi ketimpangan untuk Indonesia timur," kata Prof Sri Maliawan.

5.Psikiater
Dengan 235 juta penduduk, saat ini Indonesia hanya memiliki 616 ahli jiwa bergelar psikiater dan sebagian besar memilih berpraktek di kota-kota besar.
"Ada distribusi yang tidak merata sehingga layanan kesehatan mental lebih timpang di daerah terpencil ketimbang layanan kesehatan fisik lain," kata Dr Irmansyah, Direktur Bina Kesehatan Jiwa, pada Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan.
Namun situasi saat ini sedikit membaik dibanding beberapa tahun terakhir, karena jumlah mahasiswa pada jurusan spesialisasi psikiatri mencapai 366 orang atau lebih dari separuh jumlah psikiater yang sudah ada.
"Itupun baru berarti dalam empat tahun setelah masa studi spesialisasi psikiatri, maka jumlah dokter jiwa di Indonesia baru akan mencapai kurang dari 1.000 orang," tambah Dr Irmansyah.
Pengalaman berbagai negara di dunia menurut Irmansyah menunjukkan profesi psikiatri memang bukan jenis pekerjaan massal seperti insinyur atau dokter. Tetapi idealnya, satu psikiater melayani maksimum 30.000 penduduk.
"Nah di Indonesia saat ini perbandingannya baru 1:400.000 penduduk, masih jauh sekali."
"Ada orangtua yang marah, ngapain susah payah jadi dokter cuma mau jadi dokter jiwa. Rugi!"
Dr Tun Kurniasih
Provinsi seperti NTT hanya punya satu psikiater, daerah rawan konflik seperti Ambon hanya punya dua, sedang di Palu, Sulteng, ada satu psikiater pada pasca konflik agama.
Sementara Aceh -yang dilanda tsunami dengan korban jiwa sampai sekitar 200.000 dan diasumsikan menghadapi masalah kejiwaan besar- ternyata hanya didukung oleh dua psikiater.
Dan sedikitnya dua daerah Indonesia, Kendari dan Gorontalo, sama sekali tak punya psikiater tetap satu pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar